Rabu, 01 September 2021

Kritik Dibungkam, Melanggar Kebebasan HAM?

Penulis: Bima Adjie Prasetyo

Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Mural '404 Not Found'

Belakangan ini, banyak kritikan dari masyarakat terhadap masa pemerintahan Presiden Indonesia Joko Widodo. Yang paling ramai dikalangan netizen, yaitu lukisan mural yang dibuat di daerah Batu Ceper, Tanggerang. 

Aparat kepolisian bergegas menyelidiki kasus ini dengan memburu pembuat mural. Alasannya, karena lukisan bergambar Jokowi tersebut dinilai telah melecehkan presiden sebagai lambang negara. 
Sikap kepolisian yang berniat untuk mencari pelaku tersebut menimbulkan banyak pro-kontra di kalangan masyarakat. 


Muncul pertanyaan yang menjadi dasar Pihak aparat untuk melakukan pencarian, yaitu karena dinilai telah melecehkan presiden yang merupakan lambang negara. 

Lalu, apakah benar hal tersebut? 
Nyatanya, Undang-undang tidak menyatakan Presiden sebagai lambang negara, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata simbol berarti juga lambang. 

Simbol negara diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2009
Merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2009 Bab I Pasal 2 menyebutkan, hal-hal yang dikategorikan sebagai simbol kenegaraan adalah bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan.

Pasal 35 sampai 36A disebutkan lambang negara adalah Garuda dan semboyan yang tertera pada garuda itu. Berikut ini bunyinya.

UUD 1945
Pasal 36A
Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. 



MATI SATU TUMBUH SERIBU
Mungkin pepatah itu lah yang cocok untuk mendefinisikan kondisi terkini, setelah kejadian tersebut justru tidak meredam masyarakat untuk mengekspresikan keresahan mereka terhadap pemerintah. 
Di Tanah Abang, Jakarta Pusat contohnya tulisan yang berbunyi "Kami Lapar Tuhan"
dan sebuah mural yang bergambar Jokowi di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. 




Hanya saja, tidak lama berselang petugas kepolisian kembali menghapus coretan tersebut. 

Lukisan Mural bukanlah sebuah kejahatan, melainkan luapan ekspresi masyarakat berupa kritik yang tidak membahayakan. 
Bukannya digunakan untuk mengoreksi kebijakan, alih-alih Pemerintah justru mengambil langkah untuk menghapus aspirasi tersebut yang dinilai bersifat provokatif dan berupa pelecehan. 


"Bila terasa sinisisme publik, pertanda ada kepercayaan yang retak pada penguasa. Introspeksilah, bukan justru mencurigai pikiran rakyat." -Rocky Gerung

Baca, Tulis, Lawan! 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

UPDATE TRANSFER : Ped0fil OUT, Pecandu IN

Penulis: Bima Adjie Prasetyo Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Saipul Jamil Bebas, Coki Pardede Masuk Lap...